HOME

Kamis, 02 Juni 2011

Mendaki Tebing Tertinggi


Kategori : Karakter
Share 
Mendaki Tebing Tertinggi
Alkisah seorang anak muda pendaki tebing yang telah mempunyai pengalaman yang hebat dalam mendaki bebatuan tebing selama masa mudanya. Hanya dalam kurun waktu beberapa tahun saja sejak ia menekuni kegiatan kesukaannya itu, ia telah berhasil mendaki begitu banyak tebing yang membuat orang-orang di sekitarnya begitu bangga melihat kehebatannya tersebut. Ia mampu mendaki tebing-tebing yang cukup tinggi dengan cepat dan penuh dengan semangat, dan pengalamannya tersebutlah yang membuat ia begitu dikenal orang-orang disekitarnya, bahkan di kala itu meskipun di usia yang masih muda ia sudah dianggap sebagai senior dan banyak orang yang mau belajar darinya.

Di balik kehebatannya, sang pendaki belum pernah puas karena ia masih belum pernah mendaki satu tebing tertinggi yang pernah ia lihat sebelum ia memulai pengalaman mendakinya. Dan ia pernah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia pasti akan mendaki tebing tersebut suatu hari nanti. Tebing tertinggi itulah yang menjadi titik awal yang memotivasinya untuk terus belajar mendaki sampai sekarang. Dan ia merasa telah tiba waktu baginya untuk mencoba mendaki tebing tertinggi yang pernah ada itu. Berbekal pengalamannya tersebut, ia bersama sejumlah murid yang sekaligus temannya pun mulai merencanakan waktu dan melakukan persiapan untuk mendaki tebing tertinggi tersebut. Ia ingin mereka melihat ia mencapai puncak tertinggi tebing tersebut dengan tujuan agar mereka dapat berusaha mendaki tebing tersebut mengikuti dirinya. Dalam hatinya ia tidak sabar, karena ia tahu bahwa kepuasan tertingginya akan ia rasakan ketika ia berhasil berdiri di atas tebing tertinggi tersebut.

Tibalah saatnya hari dimana ia bersama dengan murid-murid yang sekaligus adalah teman-temannya itu berangkat menuju tebing tertinggi tersebut. Perjalanan menuju tebing tersebut begitu jauh karena harus melewati berbagai tempat sebelum mereka bisa melihat tebing tersebut. Di tengah perjalanan mereka melewati daerah-daerah yang begitu indah, terdapat banyak pemandangan, air terjun hingga pegunungan yang indah. Keindahan itu membuat sang pendaki tersebut berhenti dan turun dari kendaraannya untuk menikmati daerah pegunungan yang begitu sejuk dan memberikan kenyamanan. Ketika ia sedang berjalan, tidak jauh darinya ia melihat sebuah gunung yang begitu indah dengan sungai-sungai kecil dan pepohonan yang penuh dengan berbagai macam buah. Ia pun berpikir betapa nyamannya ia ketika ia bisa menelusuri gunung tersebut serta menikmati kenyamanan yang ada pada gunung tersebut.

Dengan keberaniannya dan tanpa mengindahkan teman-temannya, ia pun berangkat sendiri untuk berjalan menelusuri gunung tersebut, sedangkan ia membiarkan teman-temannya menunggu di tempat pemberhentian mereka. Dengan mudah ia dapat mendaki gunung, karena mendaki gunung tidak sesulit mendaki tebing yang telah menjadi kebiasaannya. Gunung melandai naik, tetapi tebing menerjal tinggi. Mendaki gunung cukup dengan kaki, tetapi tebing membutuhkan kaki dan tangan. Ketika ia berjalan menelusuri gunung tersebut, tanpa kesulitan ia dapat mencapai tempat tujuannya.

Dan memang benar, di tengah hutan di gunung tersebut, ia menemukan semua keindahan dan kenyamanan yang terlihat tadinya. Ia pun begitu senang menikmati berbagai kenyamanan yang ditawarkan gunung tersebut. Keindahan dan kenyamanan ketika ia berada di gunung membuat ia begitu sulit beranjak. Ia tidak mau melepaskan kenyamanan yang belum pernah ia rasakan tersebut, ia merasa belum puas jika ia harus segera meninggalkan kenyamanan tersebut sekarang, dan hal itu terus membuatnya bertahan disana sehingga ia lupa pada tujuan awalnya, yaitu mencari kepuasan dengan mendaki tebing tertinggi, bukan berada di daerah gunung yang nyaman untuk berdiam diri. Selang beberapa waktu lamanya ia pun tertidur disana sehingga teman-temannya mulai gelisah dan mulai mencari sang pendaki tersebut. Dari siang hingga petang, mereka mencari pendaki tersebut namun tidak menemukannya.

Hari mulai malam, dan teman-temannya masih mencari pendaki tersebut namun mereka tidak dapat melihat dengan jelas sehingga akhirnya mereka hanya bisa berteriak memanggil namanya. Sang pendaki itu pun akhirnya tersadar ketika ia bangun dari tidurnya, ia begitu menyesal telah menghabiskan waktunya dan lebih parah lagi, ia tersesat di hutan gunung tersebut. Ia tidak berani berjalan sendirian karena hari sudah malam dan hutan menjadi begitu gelap, seakan-akan keadaan berbalik menjadi begitu mencekam. Ia menyesal telah berjalan begitu jauh hingga ia sendiri lupa bagaimana jalan untuk pulang ke tempat teman-temannya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa menunggu hingga teman-temannya menemukannya atau menunggu teriakan mereka terdengar olehnya.

Dengan terduduk lesu pendaki tersebut begitu menyesal, karena ia baru sadar sebagai seorang senior (pemimpin) ia tidak selayaknya meninggalkan tugasnya untuk mencari dan menikmati kenyamanan yang ia ingini sendiri. Ia telah lupa akan tujuan awalnya ketika ia mengajak murid-murid yang juga adalah teman-temannya tersebut untuk mengajarkan mereka memanjat tebing, ia lupa bahwa ia telah mendapat kepercayaan, ia lupa bahwa ia harus menjadi teladan, dan ia lupa akan tanggung jawabnya akan orang lain yang bersamanya, dan bahkan ia sendiri lupa akan mimpinya sendiri untuk mencapai tebing tersebut. Hanya karena ia mengikuti keinginan sesaatnya untuk menikmati kenyamanan yang menggodanya, ia terhenti dan lupa akan tujuan untuk mendaki tebing tertinggi yang menjadi tujuan terbesarnya sebagai seorang pendaki.

Sama seperti pendaki tersebut, terkadang kita begitu mudah melupakan tebing tertinggi (Tebing Tertinggi ibarat Tujuan Hidup yang Tuhan beri) hanya karena kita tidak belajar bertahan ketika ujian/godaan yang begitu besar menghampiri kita. Dapatkah seseorang mendaki tebing tanpa menghadapi angin yang sesekali menggangunya? Tidak! Dan begitu pula dalam perjalanan menuju tujuan hidup, semakin tinggi atau semakin jauh kita mendaki, maka semakin besar pula angin / ujian yang akan kita hadapi. Maka dari itu, kita perlu mempersiapkan diri serta belajar menahan diri dari godaan kenyamanan. Gunung yang indah dan nyaman tersebut telah membutakan mata sang pendaki untuk melihat tebing yang ditutupi gunung tersebut dan terkadang berbagai kesenangan atau kenyamanan yang salah telah membutakan mata kita untuk melanjutkan tugas / perjalanan hidup kita bersama Tuhan. Pemuda / Pendaki tersebut yakin bahwa adalah sebuah kepuasan tertinggi ketika ia berhasil mendaki tebing impiannya, dan begitu pula kita harus sadar bahwa tidak ada yang bisa memberikan kepuasan seperti yang dapat Tuhan berikan.

Ingatlah, mendaki gunung berbeda dengan mendaki tebing tinggi. Belajar dari pendaki tadi, kita perlu menjaga hati agar tidak mengingini kenyamanan yang salah yang mencegah kita mencapai puncak tertinggi dalam hidup kita, yaitu keindahan hidup yang sejati bersama Tuhan adalah tujuan hidup kita yang seharusnya kita kejar terlebih dahulu. Dan hanya kedekatan dan kesetiaan kita dalam membangun hubungan dengan Tuhan, melalui doa dan firman sajalah yang akan menjadi kekuatan bagi kita untuk menghadapi setiap ujian yang akan datang seiring perjalanan kita! Jika saat ini Anda merasa sedang berada pada kenyamanan seperti yang dirasakan pendaki ketika ia berada di gunung yang mengganggu perjalanannya, segeralah keluar dari gunung tersebut dan kembalilah menatap tebing yang harus Anda capai, karena itulah tujuan hidup kita, yaitu tebing yang Tuhan berikan agar kita mendakinya hingga puncak dan menjadi kebanggaan bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk orang lain, dan tentunya untuk Tuhan. Tetapi hal sebaliknya akan terjadi jika Anda tidak kembali ke jalur yang seharusnya!
Semoga berarti untuk Anda... Tuhan Yesus Memberkati!
 
Sumber : HTcom View(2066)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar