HOME

Sabtu, 07 November 2015

Bukan Tuhan Tidak Mau Mendengar. Kadang Dia Hanya Ingin Kita Bersabar

Belakangan rasanya mudah sekali menyalahkan tangan semesta atas semua yang terjadi. Pekerjaan yang makin jahanam dari hari ke hari, urusan hati yang belum juga selesai sampai hari ini, juga soal impian membahagiakan orangtua yang ternyata membutuhkan peluh dan presisi tingkat tinggi.
Saat otak sedang penuh-penuhnya, mudah saja untuk bertanya:
Tuhan di mana? Apakah Dia tidak tahu kita kalang kabut di sini dan memilih menutup mata?
Premis sederhana ini memang terdengar klasik sekali. Tapi jika mau percaya dan mengamini, hidup akan jauh lebih ringan dijalani.
Tuhan selalu ada. Dia bersama kita. Kadang Dia cuma mau kita bersabar saja.


Tidak langsung diberi saja kita masih malas-malasan mengabdi. Sebenarnya Tuhan memberi waktu tunggu agar kita meresapi

Kalau mau, bisa saja Ia langsung mewujudkan semua yang kita minta. Toh tidak ada yang sulit bagiNya. Proses skripsi yang panjang dan berliku bisa di skip dan dimudahkan saat itu. Perjalanan mencari jodoh yang membuat kita lelah dan tergopoh bisa ia jadikan manis seperti saat kita menjajal renyahnya salak pondoh.
Tapi mari kita berkaca saja. Sebagai Hamba, bukankah ada sifat brengsek yang kita punya? Tidak langsung dikabulkan permohonannya saja kadang kita malas mendatangiNya saban hari. Menjumpainya 5 kali dalam sehari, bahkan memujanya di akhir minggu kadang berat dijalani. Yeah, manusia memang dibekali dengan rasa mampu dan kurang tahu diri.
Jika mau melongok sedikit dalam lagi, waktu tunggu antara doa dan pengabulan sebenarnya jadi momen terbaik untuk meresapi. Di masa kita khusyuk tunduk, kita mengerti bahwa Ia selalu balas memeluk. Saat malam dihabiskan dengan doa-doa panjang, kita sadar bahwa ke manapun pergi; senakal apapun kita Dia hanya mau kita pulang.


Saat kita datang melangkah, Ia selalu menghampiri dengan berlari. Tak sedetik pun Ia biarkan kita seperti anak ayam yang kehilangan navigasi


Jika Ibu saja selalu punya naluri, bukankah tak mungkin Ibu dari semesta memandang kita yang kebingungan tanpa hati? Walau kadang tak melulu mengabulkan doa yang sudah dipanjatkan tanpa henti, tapi picing matanya tak pernah pergi. Ia seperti sahabat baik yang tumbuh bersama dan selalu di sisi.
KehadiranNya memang tak selalu terasa. Atau memang kita saja yang kurang peka sebagai manusia. Namun jika mau bersahabat dengan damai dan senyap sedikit saja — kita akan tahu ia ada.
Ia kerap menjelma dalam nasihat kedua orangtuamu. KeinginanNya kadang dititipkan pada cecaran dosen pembimbing skripsi dalam lembar revisimu. PetunjukNya jadi backsound tak terdegar di belakang obrolan ringan bersama kawan-kawanmu. Menunggu hatimu cukup peka menjemputnya di situ.
Ia tak selalu kelihatan di sisi. Namun ia tak pernah membiarkan kita berteriak ‘Mayday’ karena kehilangan navigasi.


Ia mendengar. HatiNya bergetar. Namun Ia hanya ingin kita bersabar

Tak terbayang rasanya jadi Dia. Tiap waktu mendengar permohonan, kemudian mengkotak-kotakkannya dalam:
  • Diwujudkan
  • Ditangguhkan
  • Diganti yang lebih sepadan
HatiNya tentu tak nyaman menolak keinginan. Bukankah cintaNya tak perlu lagi dipertanyakan? Apakah enak menolak permintaan sederhana dari mereka yang kebaikannya selalu diutamakan?
Setiap permohonan tersampaikan, percayalah jika hatiNya bergetar. TelingaNya mendekat — tak ada ucap yang tidak tersambar.
Jika bijak tentulah ia sudah memencet tombol approve untuk semua permintaan. Namun dia lebih mengerti, bahwa kita-kita ini butuh jeda agar menghargai hal yang diwujudkan. Ia ingin kita bermesra, sering-sering mengunjungiNya meski dengan pretensi di baliknya. Baginya tak apa tarik ulur sedikit, pakai umpan dan pancing agar terasa seru sedikit. Yang jelas kesabaran ini akan berbuah manis, tanpa sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar